Beranda | Artikel
Sepuluh Nasihat Untuk Pemuda Ahlus Sunnah
Sabtu, 18 Juli 2020

SEPULUH NASIHAT UNTUK PEMUDA AHLUS SUNNAH

Nasihat ini kami angkat dari muhadharah yang disampaikan Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhailihafizhahullah– dalam Daurah Syar’iyyah yang diadakan di Lawang, Malang, Jawa Timur, antara tanggal 7 – 14 Rajab 1428H, bertepatan dengan 22 – 29 Juli 2007M. Ceramah ini mengacu pada tulisan beliau “Nashihatun li asy-Syabab“, yang ditulis sekitar empat tahun lalu (1424 H), kemudian beliau bacakan dengan mensyarahnya di waktu-waktu terakhir daurah tersebut, yaitu Ahad, 14 Rajab 1428H / 29 Juli 2007M.

Adapun naskah terjemahan ini ditulis oleh Ustadz Muhammad Arifin Badri, yang kemudian dilakukan penyesuaian dengan perubahan dan penambahan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, dengan mengacu pada naskah asli sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhailihafizhahullah– dalam beberapa pertemuan saat daurah tersebut.

Kami berharap, wejangan ini bermanfaat, khususnya bagi Ahlus-Sunnah dan kaum Muslimin seluruhnya. (Redaksi).

Bismillâhirahmânirrahîm.
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarganya, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du,

Berikut ini adalah untaian nasihat yang ditujukan kepada para pemuda Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah, yang harus ditulis untuk turut menasihati kaum Muslimin, dan mendamaikan antara sesama Ahlus-Sunnah, sebagaimana dianjurkan dalam banyak dalil syariat.

Yang mendorong saya menulis nasihat ini, yaitu adanya fenomena yang dialami banyak pemuda Salafiyyin di berbagai negeri Islam, bahkan di negeri-negeri kafir yang dihuni oleh minoritas kaum Muslimin. Fenomena ini berupa perpecahan besar, disebabkan perbedaan pendapat dalam beberapa masalah ilmiah, dan sikap-sikap yang dinampakkan dalam menghadapi sebagian orang yang menyelisihi (manhaj Ahlus-Sunnah). Juga fenomena yang muncul dari permasalahan tersebut, yaitu berupa pemutusan hubungan dan pemboikotan (hajr). Bahkan sampai bertindak berlebihan dan melampaui batas, sehingga fitnahnya meluas dan bahayanya nampak mengerikan. Hal ini telah menghambat perjuangan dakwah As Sunnah, dan bahkan telah menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya. Padahal sebelumnya, masyarakat luas di berbagai daerah dan negeri telah menerimanya.

Saya akan ringkas nasihat ini dalam beberapa poin berikut, dengan mengharap kepada Allah, untuk melimpahkan kepada saya keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat kepada setiap kaun Muslimin yang membacanya.

Pertama
Termasuk salah satu prinsip dalam agama Islam, bahwa setiap muslim hendaklah berusaha dengan sungguh-sungguh berupaya berbenah menyelamatkan diri, serta menjauhkan semua yang akan menyebabkan kebinasaan terhadap dirinya, sebelum  ia menyibukkan dengan (kekurangan) orang lain.

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat- menasihati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [al-‘Ashr/103:1-3].

Allah memberitakan orang-orang yang selamat dari kerugian (tidak merugi), yaitu orang-orang yang pada dirinya tertanam sifat-sifat tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka terlebih dahulu telah merealisasikan keimanan dan amal shalih pada diri mereka, sebelum mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasihat-menasihati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. Inilah dasar penetapan masalah ini.

Demikian juga dalam firman-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencela Bani Isra’il dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini.

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat), maka tidakkah kamu berpikir? [al-Baqarah/2:44].

Oleh karena itu, setiap pemuda hendaklah memperhatikan agar membenahi dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain. Tatkala dirinya telah mencapai istiqamah dalam hal itu, dan telah menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar telah berada di atas petunjuk Salaf, dan Allah akan melimpahkan manfaat dari (dakwah)nya. Mereka menjadi dai yang menyeru kepada Sunnah dengan ucapan dan perilakunya. Dan sungguh, demi Allah, inilah kedudukan yang tinggi. Bila seseorang berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari Kiamat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat/41:33].

Kedua
Hendaklah diketahui, bahwasanya yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlus-Sunnah, ialah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama Islam, baik secara idiologi (i’tiqad) maupun perilaku (suluk).

Suatu kekeliruan, bila yang dianggap sebagai Ahlus-Sunnah atau seorang Salafi, ialah seseorang yang merealisasikan akidah Ahlus-Sunnah semata, tanpa memperhatikan sisi perilakunya, adab-adab Islam, ataupun menunaikan hak-hak antara sesama muslim.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di akhir kitab al-‘Aqîdah al-Wasithiyyah, setelah menyampaikan pokok-pokok ajaran Ahlus-Sunnah dalam masalah i’tiqad, beliau berkata:

“Kemudian mereka (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini, (yaitu) saling memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar sesuai tuntutan syariat, (maka) mereka memandang pelaksanaan ibadah haji, jihad, shalat Jum’at, shalat ‘Id dilakukan bersama para pemimpin (penguasa), baik pemimpin yang baik (adil) maupun yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan shalat berjama’ah dan menjalankan tanggung jawab memberikan nasihat kepada umat. Mereka juga meyakini makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُؤْمِنُ لِلْمؤمِنِ كَالْبُنْيَانِ الْمَرْصُوْصِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

 Permisalan (peran) seorang mukmin terhadap seorang mukmin lainnya, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya.

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalin jari-jemarinya, dan bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّىوَا لسَّهَرِ

Permisalan kaum Mukminin dalam kecintaan, berlemah-lembut dan berkasih-sayang, ialah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuhnya merasakan demam dan tidak bisa tidur. [Muttafaqun ‘Alaihi].

Mereka memerintahkan untuk sabar tatkala tertimpa cobaan (kesusahan), dan bersyukur tatkala mendapatkan kelapangan, serta ridha dengan perjalanan takdir yang pahit. Mereka menyeru kepada akhlak mulia, amal-amal terpuji, dan meyakini makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya, ialah orang yang paling baik akhlaknya.

Mereka senantiasa menganjurkan untuk menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga. Mereka juga melarang dari perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan maupun tidak. Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlak terpuji, dan mencegah dari akhlak tercela.

Semua perkataan dan perbuatan mereka yang disebutkan di atas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti al-Kitab (Al-Qur`ân) dan as-Sunnah. Dan jalan hidup mereka ialah agama Islam, yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.

Ketiga
Di antara tujuan agung untuk diraih yang dianjurkan agama Islam, ialah mengajak manusia untuk menganut agama ini.

Sebagaimana telah disampaikan kepada Sahabat Ali ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):

 لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ ) أخرجه الشيخان، البخاري ومسلم (

Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah. [HR Bukhari, no. 4210, dan Muslim no. 2406].

Oleh sebab itu, orang-orang yang telah dikaruniai hidayah (petunjuk) untuk (mengamalkan) Sunnah, hendaklah bersungguh-sungguh mendakwahi orang lain yang masih tersesat dari Sunnah, atau kurang memerhatikannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan Sunnah. Hendaklah menempuh dengan segala daya dan upaya yang dapat mereka lakukan dalam menuntun manusia dan mendekatkan hati mereka untuk menerima kebenaran.

Hal itu, ialah mendakwahi mereka dengan cara lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berkata kepada Nabi Musa dan Harun:

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿٤٣﴾ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. [Thaahaa/20:43-44].

Juga memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai kedudukannya. Sebagaimana ketika dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada Hiraqlius, dengan bersabda:

إِلَى هِرَقْلَ عَظِيْمِ الرُّوْمِ

(kepada Hiraql, Pemimpin Romawi).

Beliau juga memberikan kuniyyah kepada ‘Abdillah bin Ubai bin Salul dengan “Abil-Habbab”. Demikian juga dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, yaitu dengan bersabar, dan membalasnya dengan perilaku yang baik, dan janganlah tergesa-gesa menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ 

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul (‘ulul- ‘azmi) telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. [Ahqâf/46:35].

Keempat
Para pelajar (thalabatul-‘ilmi), terutama para dai, hendaklah dapat membedakan antara al- mudarah dan al-mudahanah.

Al-mudarah ialah sesuatu hal yang dianjurkan. Ia berhubungan dengan sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Lisanul-‘Arab: “Bersikap al-mudarah terhadap orang lain, yaitu dengan bersikap ramah-tamah kepada mereka, bermu’amalah dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, sehingga mereka tidak menjauh darimu”. [1]

Sedangkan al-mudahanah (menjilat) adalah sikap yang tercela. Ia berhubungan dengan masalah agama. Allah berfirman:

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [al-Qalam/68:9].

Al-Hasan al-Bashri menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: “Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dalam agamamu di hadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dalam agama mereka di hadapanmu”. [Tafsir al-Baghawi, 4/377].

Dengan demikian, orang yang bersikap mudârah akan berlemah-lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikit pun dari prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudâhin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.

Sungguh, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan figur yang paling baik akhlaknya, dan paling lemah-lembut terhadap umatnya. Ini merupakan perangai lemah-lembut dan ramah tamah dari beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, meski hanya satu, walau di hadapan siapapun. Inilah perwujudan keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama yang sangat bertentangan dengan sikap mudâhanah (menjilat).

Hendaklah para pelajar memerhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain dan berlemah lembut sebagai tanda kelemahan dan luluh dalam (mengemban perintah) agama.

Pada saat lainnya ada yang beranggapan bahwa sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan merupakan bagian dari sikap (ar-rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini salah dan tersesat dari kebenaran. Hal ini, hendaklah benar-benar diperhatikan dengan baik, karena salah paham dalam permasalahan ini sangat berbahaya. Dan tidak selamat darinya kecuali orang yang diberi taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah.

Kelima
Seorang dai dalam berdakwah kepada manusia memiliki dua metode syar’i yang disebutkan dalam banyak dalil yaitu: (1) metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), (2) metode hajr (memboikot/menjauhi) dan mengancam (at-tarhib).

Sehingga merupakan kesalahan bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) saja kepada setiap orang. Oleh karena itu, dalam menghadapi seseorang yang menyelisihi kebenaran, hendaklah ia memilih metode yang paling memiliki harapan besar sehingga orang yang menyelisih kebenaran itu dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus

Apabila dengan menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka cara inilah yang disyariatkan (dibenarkan) untuk menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila menerapkan hajr (memboikot) itu lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka cara inilah yang disyariatkan.

Barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati (ta’lif) terhadap orang yang selayaknya dihajr (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajr (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berbuat munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim (menyimpang).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
Ketentuan menghajr berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, lemah, sedikit dan banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajr (boikot) ialah menghardik orang yang dihajr (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat luas meninggalkan kesalahan tersebut.

Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajr (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah dan hilang, maka pada saat itulah hajr (boikot) disyariatkan. Akan tetapi (sebaliknya), bila orang yang diboikot dan orang selainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajr (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajr (boikot).

Bahkan terkadang menarik simpati (ta’lif) untuk sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan boikot untuk sebagian lainnya lebih berguna dibanding cara ta’lif (menarik simpatinya). Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik simpati sebagian orang dan memboikot sebagian lainnya.

Sebagaimana yang demikian ini terkadang disyariatkan untuk menghadapi musuh dalam peperangan, saat perdamaian, dan terkadang dengan cara mengambil jizyah (upeti). Semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.

Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya tentang permasalahan ini didasari oleh prinsip tersebut. [Majmû’ Fatâwâ, 28/206].

Beliau juga menjelaskan kesalahan orang yang menyamaratakan penerapan hajr (boikot) maupun ta’lif (menarik simpati) tanpa memperhatikan prinsip di atas, dengan mengatakan: “Sebagian orang menerapkan hajr itu secara umum, sehingga mereka menghajr atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan untuk dihajr itu, sehingga tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja tidak memberlakukan hajr merupakan kewajiban atau disunnahkan, dan melakukannya menjadi terlarang. Sedangkan sebagian orang ada yang berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk memboikot (menjauhi) sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk lagi bid’ah”. [Majmû’ Fatâwâ, 28/213].

Keenam
Sepantasnya setiap orang yang hendak menerapkan masalah hajr (boikot) agar memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat sebagaimana telah digariskan oleh para ulama yang memiliki kewenangan dalam masalah ini.

Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, benar-benar dapat dibedakan secara jelas antara pelaku kesalahan yang disyariatkan (layak) untuk diboikot dengan orang-orang yang tidak semestinya diboikot. Ketentuan-ketentuan tersebut, di antaranya (sebagai berikut) :

  1. Berkaitan dengan yang melakukan pemboikotan.

Yang melakukan pemboikotan hendaklah orang yang kuat dan memiliki pengaruh. Sehingga pemboikotannya berpengaruh dalam menghentikan orang yang menyelisihi (kebenaran) tersebut. Akan tetapi, bila pemboikotnya adalah orang yang lemah, maka pemboikotannya tidak membuahkan hasil. Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotannya untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.

Adapun bila tujuannya untuk kemaslahatan yang melakukan pemboikotan, karena bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan agamanya, maka ia dibenarkan untuk memboikot setiap orang yang akan menimbulkan kerugian baginya, bila ia duduk-duduk atau bergaul dengannya. Hal ini, karena hajr (boikot) disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikotnya.

Realisasi dari pemboikotan ini ialah dengan cara memboikot setiap orang, yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya. Dan hajr ini pun disyariatkan untuk kemaslahatan orang yang diboikot. Yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat pelajaran, bila diboikot.

Hajr (boikot) juga disyariatkan demi mencapai kemaslahatan masyarakat luas. Yang direalisasikan dengan cara memboikot sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat menjadi jera dan takut untuk melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Banyak dalil yang menunjukkan ketiga jenis pemboikotan ini.

  1. Berkaitan dengan orang yang diboikot.

Pemboikotan diberlakukan, bila orang yang diboikot dapat mengambil manfaat dari pemboikotan itu, sehingga ia terpengaruh, dan kemudian kembali kepada kebenaran. Adapun bila tidak bermanfaat dengan pemboikotan itu, bahkan terkadang menjadikannya semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Hal ini kembali kepada tabiat yang dimiliki seseorang, yaitu dalam hal kekuatan, keteguhan dan keengganan tunduk kepada orang lain. Walaupun kebinasaannya ada pada hal itu. Orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman dan pemboikotan. Namun terkadang bermanfaat dengan cara menarik simpati dan bersikap lemah lembut kepadanya.

Ada kalanya yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan dikarenakan adanya faktor-faktor luar. Misalnya, karena ia seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya pemboikotan tidak akan berguna, karena mereka yakin merasa tidak membutuhkan terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu, dahulu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ta’lif (menarik simpati) para pemimpin yang ditaati kaumnya dan para pemuka masyarakat, seperti Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, al-Aqra’ bin Habis, dan yang serupa mereka.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Oleh karena itu, dahulu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ta’lif (menarik perhatian) pada sebagian orang dan memboikot sebagian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut (dalam perang Tabuk) yang jelas lebih baik dari kebanyakan orang-orang yang dijinakkan hatinya (muallafat qulubuhum). Hal ini, dikarenakan mereka (orang-orang yang dijinakkan hatinya tersebut) adalah para pemimpin yang ditaati di kabilah masing-masing …”. [Majmû’ Fatâwâ, 28/206].

  1. Berkaitan dengan jenis pelanggaran.

Tidak ada jenis pelanggaran yang menunjukkan bahwa pelakunya selalu diboikot atau selalu tidak diboikot pada semua keadaannya. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa hajr (boikot) hanya berlaku pada perbuatan bid’ah, dan tidak pada perbuatan maksiat. Atau pada bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya diklaim kafir) saja tanpa yang lainnya. Atau pemboikotan pada dosa-dosa besar, sedangkan pada dosa-dosa kecil tidak (perlu ada pemboikotan).

Yang benar, ialah disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun (kesalahan itu) kecil, apabila pelaku kesalahan itu merupakan orang yang disyariatkan untuk dihajr (diboikot), dan ia dapat mengambil manfaat dari pemboikotan itu. Dengan demikian, yang wajib dilihat dalam masalah hajr ini, ialah, apakah pelaku pelanggaran tersebut dapat mengambil manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran.

Oleh karena itu, bisa saja seorang shalih dan yang mengagungkan Sunnah itu diboikot, hanya karena kesalahan kecil. Sebagaimana Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot sebagian sahabatnya karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salam ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu tatkala menggunakan minyak za’faran. (HR Abu Dawud dalam kitab as-Sunnan, 5/8), dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, sehingga sahabat itu menghancurkannya. [HR Abu Dawud, 5/402].

Kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat keshalihan pelakunya jauh di bawah orang-orang yang diboikot di atas.

Sebagai contoh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ta’lif (upaya menarik simpati) al-Aqra` bin Habis dan ‘Uyainah bin Hishn. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan ta’lif terhadap sebagian orang munafiqin, seperti ‘Abdullah bin Ubai dan yang serupa dengannya. Semua ini disesuaikan dengan kemaslahatan dan pertimbangan lainnya, sesuai ketentuan-ketentuan syariat dalam masalah pemboikotan.

  1. Berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya pelanggaran.

(Dalam melakukan pemboikotan) hendaklah membedakan antara tempat, waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan kemungkaran, dan juga dengan pelakunya yang memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran, dan kekuatan pelakunya lemah.

Apabila kekuasaan pada waktu dan di tempat itu berada di tangan Ahlus-Sunnah, maka disyariatkan untuk menghajr (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat lainnya; karena jika pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, maka ia akan menjadi jera dengan adanya pemboikotan itu. Sebagaimana Allah telah berfirman tentang kisah Sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ

Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja … [at-Taubah/9:118].

Sebagaimana pula teguran dan pendidikan telah berhasil dicapai melalui pemboikotan (yang dilakukan oleh) Sahabat Umar bin Khaththab dan seluruh ummat terhadap diri Shabigh bin ‘Asal, seperti telah diketahui bersama.

Apabila kekuasaan pada waktu dan tempat itu berada di tangan orang-orang jahat dan batil, maka tidak disyariatkan pemboikotan, kecuali pada momen-momen tertentu. Karena pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya, yaitu berupa pendidikan dan teguran, bahkan kemungkinan orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Oleh karena itu, hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi praktek-praktek bid’ah, sebagaimana banyak pemikiran bid’ah dari kaum Qadariyah (yang mengingkari takdir), ilmu nujum (tanjim) di kota Khurasan, dan tasyayu` (pemikiran Syi’ah) di kota Kufah, dengan tempat-tempat yang tidak seperti itu. Dan hendaklah dibedakan antara para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan yang lainnya. Apabila telah diketahui tujuan syariat tersebut, maka hendaklah ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan itu”. [Majmû’ Fatâwâ, 28/206-207].

  1. Berkaitan dengan masa pemboikotan.

Masa pemboikotan itu, hendaklah disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan jenis pelanggarannya. Karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari, satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang membutuhkan waktu lebih lama dan lebih sedikit. Apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan. Karena, kalau tidak, akan muncul rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang semestinya, maka tidak akan ada gunanya.

Tatkala Ibnul-Qayyim menyebutkan faidah-faidah (manfaat) yang dapat diambil dari kisah pemboikotan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau rahimahullah berkata: “Dalam kisah ini terdapat dalil yang menunjukkan, bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama, atau pemuka masyarakat terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot), maka pemboikotan tersebut hendaklah sebagai obat. Yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan) dan tidak berlebihan, baik dalam jumlah atau caranya sehingga dapat membinasakan orang tersebut. Karena tujuan (pemboikotan), ialah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan”.[Zâdul-Ma’ad, 3/20].

Ketujuh
Mengingkari pelaku pelanggaran dan membantahnya sebagai upaya memberikan nasihat kepada orang tersebut dan menjaga masyarakat dari kesalahannya, merupakan salah satu prinsip utama Ahlus-Sunnah. Bahkan pengingkaran itu termasuk jihad yang paling mulia. Akan tetapi, (dalam melakukan pengingkaran), harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat dan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Sehingga dari pengingkaran dan bantahan tersebut, dapat dicapai tujuan syariat.

Di antara ketentuan dan syarat tersebut, ialah sebagai berikut:

  1. Pengingkaran itu, hendaklah dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni, yaitu hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran.

Di antara konsekwensi keikhlasan dalam masalah ini, yaitu perasaan senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk dan kembali kepada kebenaran. Dan konsekwensi ini, ialah dengan menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, sehingga hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, dan bukan malah menjadikannya semakin jauh. Begitu pula, hendaklah dengan menyertakan doa kepada Allah untuk orang tersebut, agar ia diberi petunjuk, khususnya apabila orang tersebut dari kalangan Ahlus-Sunnah, atau selain mereka dari kalangan kaum Muslimin.

Dahulu saja, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan untuk sebagian orang kafir agar mendapat petunjuk. Maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum Muslimin yang bertauhid? (Tentu lebih pantas untuk didoakan).

  1. Bantahan terhadap orang yang melanggar, hendaklah dilakukan oleh seorang ulama yang benar-benar telah mendalam ilmunya.

Yaitu oleh seorang yang menguasai secara detail dari segala sudut pandang dalam permasalahan tersebut yang berkaitan dengan dalil-dalil syariat, keterangan para ulama’ dalam masalah itu, dan mengetahui tingkat penyelewengan orang yang melanggar tersebut dari kebenaran. Juga mengetahui sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat yang dimunculkan tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam permasalahan ini.

Juga, orang yang membantah hendaklah memiliki kekuatan mengemukakan dalil-dalil dalam menjelaskan kebenaran dan mematahkan syubhat, serta memiliki ungkapan-ungkapan mendalam, agar tidak kalah dalam sebagian hujjahnya, atau agar perkataannya tidak disalahpahami dengan sesuatu yang tidak sesuai ia inginkan. Karena, bila seseorang yang melakukan bantahan tidak memiliki kriteria ini, maka yang terjadi adalah kerusakan besar.

  1. Tatkala membantah, hendaklah memerhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan agama ataupun sosialnya pada orang yang melanggar itu. Begitu juga latar belakang pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau salah pengungkapan, atau salah mengucapkan, atau karena terpengaruh oleh seorang guru, atau lingkungan masyarakatnya, atau karena memiliki takwil, atau faktor lainnya dari pelanggaran-pelanggaran syariat.

Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak memedulikan dan tidak memerhatikan perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus ke dalam tindakan ekstrim (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan perkataannya tidak, atau kurang berguna.

  1. Tatkala membantah (orang yang melakukan pelanggaran), tindakan yang dilakukannya hendaknya berusaha (untuk) mewujudkan maslahat (tujuan) syariat. Sehingga, apabila tindakannya itu justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka dalam keadaan demikian ini tidak disyariatkan untuk melakukan bantahan. Karena tidak dibenarkan menolak kerusakan dengan kerusakan lebih besar.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar. Juga tidak dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar. Karena syariat Islam ialah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta sedapat mungkin melenyapkan dan mengurangi kerusakan. Ringkasnya, bila tidak mungkin menyatukan antara dua kebaikan, maka syariat Islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan.” [Al-Masail al-Mardiniyyah, 63-64].

  1. Bantahan itu hendaklah disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya muncul di suatu negeri atau di masyarakat tertentu, maka bantahannya tidak layak disebarluaskan ke negeri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan itu, baik menyebarkannya melalui kitab, kaset atau sarana lainnya. Karena (hakikatnya) menyebarluaskan bantahan, berarti secara tidak langsung menyebarluaskan pula kesalahan itu. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan bantahan itu, lalu syubhat-syubhatnya masuk ke dalam hati dan pikirannya, dan ia tidak merasa puas dengan bantahan itu.

Oleh karena itu, lebih baik membiarkan masyarakat tidak mendengar kebatilan dan kesalahan itu sama sekali, daripada mereka mendengarnya, dan setelah itu, kemudian (mereka) membantahnya.

Sesungguhnya ulama terdahulu mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Dalam kitab-kitab mereka, banyak kita dapatkan bantahan yang hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, sebagai kebalikan dari kesalahan, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Demikian ketinggian pemahaman para ulama terdahulu, yang tidak dimiliki orang pada zaman sekarang.

Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan menyebarkan bantahan di negeri yang belum tersebar kesalahan, juga diterapkan pada pembahasan tentang menyebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negeri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menyebarkan bantahan, baik melalui buku ataupun kaset, ke tengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau tidak mendengar adanya kesalahan itu.

Berapa banyak orang awam yang terfitnah dan terjatuh kepada keraguan dan kebimbangan dalam masalah dasar agama, disebabkan banyak membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka. Oleh karena itu, orang-orang yang menyebarkan buku-buku bantahan ini hendaklah takut kepada Allah dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat dalam urusan agama mereka.

Di antara yang paling mengherankan dari yang saya dengar, bahwa sebagian pelajar membagi-bagikan sebagian buku bantahan kepada sebagian orang yang baru masuk Islam dari kalangan orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan. Kemudian, mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah sangat mengherankan tindakan mereka.

  1. Hukum membantah pelaku kesalahan, ialah fardhu kifayah.

Apabila telah ada seorang ulama yang melaksanakannya, dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, sehingga tujuan syariat (dalam hal itu) telah terwujudkan, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama lainnya telah gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama dalam permasalahan hukum fardhu kifayah.

Termasuk suatu kesalahan, tatkala ada seorang ulama membantah seorang pelaku kesalahan (penyimpangan), atau fatwa yang memperingatkan dari kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama lainnya, juga para pelajar lainnya agar menyatakan sikapnya terhadap ulama yang melakukan bantahan itu dan (juga kepada) pelaku kesalahan yang dibantahnya, atau atas fatwa itu. Sampai-sampai menuntut para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam agar menentukan sikapnya terhadap ulama pembantah dan pelaku kesalahan tersebut. Kemudian menjadikan permasalahan ini sebagai asas wala` dan bara` (loyalitas dan permusuhan), dan orang-orang pun saling menghajr (memboikot) hanya karena perkara ini. Bahkan bisa jadi sebagian pelajar memboikot sebagian gurunya (syaikhnya) yang selama bertahun-tahun ia menimba ilmu dan akidah darinya, hanya karena permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula, fitnah ini menyusup ke dalam keluarga, sehingga engkau mendapatkan seseorang memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang tuanya, bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak menjadi terpisah-pisah hanya karena permasalahan ini.

Bila engkau melihat fenomena yang menimpa masyarakat, niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok, atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan kepada kelompok lainnya, dan mewajibkan pemboikotan terhadapnya. Semua ini terjadi di antara orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada as-Sunnah (Ahlus-Sunnah), yang sebelumnya setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum terjadinya perbedaan ini. Fenomena ini kembalinya kepada kebodohan yang sangat tentang as-Sunnah (manhaj Ahlus-Sunnah), kaidah-kaidah mengingkari (kemungkaran) menurut Ahlus-Sunnah, atau kepada hawa nafsu (yang diikutinya), kita memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah.

Kedelapan
Ulama Ahlus-Sunnah yang telah terkenal akan keselamatan akidah dan jasanya dalam memperjuangkan as-Sunnah (manhaj Ahlus-Sunnah), hendaklah senantiasa dijaga kehormatannya, diperhatikan kedudukannya, dan tidak sepatutnya dicela atau diklaim sebagai pelaku bid’ah, atau dituduh mengikuti hawa nafsu, atau fanatis, hanya karena memiliki kesalahan dalam berijtihad.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Tidak diragukan lagi, bahwa kesalahan seseorang dalam permasalahan yang detail, akan diampuni, walaupun kesalahannya itu tergolong permasalahan-permasalahan ilmiyyah (akidah). Kalau kita tidak bersikap demikian, niscaya kebanyakan ulama akan binasa (tidak dihargai jasanya).

Apabila Allah mengampuni orang yang tidak mengetahui bahwa khamr adalah haram, dikarenakan ia hidup di suatu masyarakat yang jahil (bodoh), sementara ia tidak pernah menuntut ilmu, maka seorang ulama yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sesuai yang ia peroleh di waktu dan tempat ia berada, apabila ia benar-benar bertujuan mengikuti (ajaran) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semampu mungkin, tentunya ia lebih berhak untuk diterima Allah kebaikannya, dan ia mendapatkan pahala atas usaha dan jasanya, serta diampuni kesalahannya.

Hal ini merupakan perwujudan dari firman-Nya:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا 

(Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau bersalah –Qs al-Baqarah ayat 286). (Majmû’ Fatâwâ, 20/165).

Pada kesempatan lain beliau rahimahullah juga berkata: “Demikian ini keyakinan ulama salaf (terdahulu) dan para imam ahli fatwa, seperti Abu Hanifah, asy-Syafi’i, ats-Tsauri, Dawud bin Ali, dan lainnya. Mereka menganggap, orang yang salah dalam berijtihad tidaklah berdosa, baik dalam permasalahan-permasalahan prinsip (ushul) maupun cabang (furu`). Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hazm dan lainnya, dan mereka mengatakan, inilah pendapat yang dikenal dari kalangan para sahabat, tabi’in (pengikut mereka dalam kebaikan), dan para imam agama. Mereka tidak mengafirkan, tidak menfasikkan, dan tidak menganggap berdosa seorang ahli ijtihad yang salah (dalam berijtihad), baik dalam permasalahan amaliah maupun dalam masalah ilmiah (akidah). Mereka mengatakan, bahwa membedakan antara permasalahan-permasalahan furu` (cabang) dengan permasalahan-permasalahan ushul (prinsip) hanyalah berasal dari pendapat ahli bid’ah dari kalangan penganut ilmu kalam (filsafat), Mu`tazilah, Jahmiyyah, dan pengikut mereka”. [Majmû’ Fatâwâ, 19/207].

Kita menegaskan hal ini, bukan berarti kita tidak menasihati ulama tersebut bila ia melakukan kesalahan. Bahkan menasihatinya merupakan kewajiban setiap orang yang mengetahui kesalahannya. Dan sikap ini termasuk bakti dan berperilaku baik kepadanya. Akan tetapi, sudah tentu nasihat harus dilakukan dengan cara ramah, lembut, dan dengan metode yang sesuai kedudukannya dalam keilmuan dan keutamaannya. Kemudian bila ia bertaubat, meninggalkan dan mengoreksi kesalahannya, maka ia diterima, dan tidak dibenarkan lagi untuk membicarakannya. Tidak juga mencelanya karena kesalahannya itu, dan kita tidak dibenarkan meragukan kesungguhannya dalam bertaubat.

Namun bila ia tidak bertaubat dikarenakan masih memiliki alasan tertentu, atau syubhat yang menghalanginya dari kebenaran, maka hendaklah dilihat; apabila kesalahannya itu hanya terbatas pada dirinya sendiri, maka tanggung jawab kita telah selesai dengan menasihatinya. Akan tetapi jika kesalahan tersebut telah menyebar, maka masyarakat hendaklah diperingatkan dari kesalahan itu, dengan tetap menjaga kehormatan ulama tersebut.

Sepantasnya pada kesempatan ini, kita ingatkan kewajiban menjaga dua prinsip besar. Pertama, kewajiban bersikap tulus mencari kebenaran. Kedua, kewajiban menjaga kehormatan ulama. Menurut Ahlus-Sunnah, kedua prinsip ini tidak saling bertentangan, dan tidak dibenarkan untuk membesar-besarkan salah satunya, walaupun harus dengan mengabaikan yang lainnya.

Cinta kepada ulama dan menjaga kedudukan mereka, tidak berarti tinggal diam melihat kesalahan mereka dan tidak memperingatkannya. Bersikap tulus demi kebenaran dan mengingatkan kesalahan seorang ulama, tidak berarti dengan mencela dan memakinya. Bahkan kedua prinsip ini dapat digabungkan oleh setiap orang yang diberi bimbingan dari Allah.

Barang siapa yang mengetahui metode (cara) ulama dalam mengingatkan kesalahan sebagian mereka tanpa disertai celaan, niscaya ia akan mengetahui hakikat permasalahan ini. Bukti-bukti nyata perkataan ini sangat banyak didapatkan dalam perkataan ulama.

Kesembilan
Ahlul-bid’ah yang menyelisihi akidah Ahlus-Sunnah dan manhaj (metode) mereka dalam berdalil, mengajar, mendidik, dan berdakwah ke jalan Allah; mereka mengikuti hawa nafsu dan tidak menjadikan ulama Ahlus-Sunnah sebagai suri tauladan, tetapi bahkan sebaliknya, yaitu malah mencela dan mencemoohnya. Bahkan menganggap diri mereka sendiri lebih utama dibandingkan para ulama Ahlus-Sunnah. Mereka ialah mubtadi’ah (ahli bid’ah) lagi sesat. Sepantasnya untuk diperangi dengan cara menjelaskan kepada seluruh masyarakat tentang keburukan jalan dan penyelewengan mereka dari as-Sunnah. Juga dengan membantah dan memperlakukan mereka dalam segala kondisi dengan perlakuan terhadap ahlul-bid’ah.

Meski begitu, hal ini tidak menghalangi kita untuk mendakwahi mereka kepada kebenaran. Bila dianggap akan menjadi penyebab mereka kembali kepada as-Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama dengan mereka. Yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.

Kita hendaknya selalu waspada, agar tidak mencampur-adukkan antara sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi ulama Ahlus-Sunnah -walau mereka memiliki kesalahan- berupa kewajiban menjaga kedudukan dan kehormatan mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dengan sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi ulama’ ahlul-bid’ah, yang seyogyanya diboikot dan diperingatkan agar dijauhi.

Yang demikian ini, karena kesalahan ulama Ahlus-Sunnah merupakan hasil dari usaha mereka dalam mencapai kebenaran dengan menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil. Adapun kesalahan ulama ahlul-bid’ah, ialah berasal dari hawa nafsu, penyelewengan, dan tidak menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil, sehingga sangat jauh perbedaan antara keduanya.

Permasalahan ini merupakan titik perbedaan antara Ahlus-Sunnah dan ahlul-bid’ah. Dan dengan ini pula, seorang yang cerdas dan jeli dapat memahami mengapa para ulama ahlus-sunnah yang memiliki kesamaan pendapat dengan sebagian ahlul-bid’ah dalam beberapa keyakinan mereka, tidak diklaim sebagai ahlul-bid’ah.

Kesepuluh
Saya menutup nasihat ini dengan menyebutkan beberapa anjuran ringan dan faidah-faidah berharga, yang saya rasa bila diamalkan, akan mendatangkan pahala besar dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Saya menyeru saudara-saudaraku untuk mengamalkannya dan senantiasa memperhatikannya; terlebih lagi pada masa ini. Yaitu masa yang banyak tersebar fitnah, hawa nafsu diumbar, kebodohan merajalela, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dan petunjuk Allah.

  1. Wahai, pengikut Sunnah. Ketahuilah, jika Anda benar-benar pengikut Sunnah, sekali-kali tidak akan merugikanmu semua tipu daya penduduk bumi yang ditujukan kepadamu, dan Anda tidak akan dapat terusir dari (jalan) Sunnah, hanya karena tuduhan mereka kepada Anda sebagai pelaku bid’ah.

Sebaliknya, jika Anda adalah pelaku kesesatan dan penyelewengan –dan saya memohonkan perlindungan kepada Allah untuk Anda, agar Anda tidak menjadi demikian- niscaya pujian seluruh manusia tidak berguna bagi diri Anda di sisi Allah. Dan penisbatan mereka bahwa Anda adalah pengikut Sunnah, serta sanjungan mereka kepada Anda dengan berbagai julukan palsu -bila kenyataannya Allah telah mengetahui tentang hakikat diri Anda sebagaimana yang Anda ketahui sendiri- oleh karena itu, hendaklah Anda tidak berdusta pada diri sendiri.

Pada keadaan demikian ini, semestinya cukup sebagai peringatan bagi Anda, (yaitu) wasiat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas,[2] dan hadits tiga orang yang pertama kali akan dimasukkan ke dalam api neraka.[3] Semoga Allah melindungi saya dan Anda darinya.

  1. Ketahuilah, bahwasannya ulama Ahlus-Sunnah yang mendalam (kokoh) ilmunya, dapat mencapai kedudukan tinggi dan menjadi pemimpin (imam) dalam keagamaan –selain karena taufiq (bimbingan) Allah kepada mereka- (juga) karena kesabaran dan keyakinan mereka. Allah Ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan dari mereka imam-imam (para pemimpin), yang memberi petunjuk dengan urusan Kami, tatkala mereka bersabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam  urusan agama akan dicapai”.

Yang dimaksud dengan kata “yakin” disini, ialah kekuatan dalam ilmu, dengan dilandasi oleh dalil yang benar dan pemahaman yang lurus. Bukan yang diinginkan oleh sebagian pelajar, yaitu berupa sikap pasrah dalam berilmu dengan taklid kepada seorang ulama, atau pelajar lainnya, atau anggapan bahwa kebenaran akan selalu bersama ulama (yang diikutinya) tersebut, dan tidak ada yang memahami Sunnah dengan baik kecuali dia.

Dan yang dimaksud dengan kata “sabar” disini, ialah kegigihan dan keuletan dalam menuntut ilmu, disertai pengamalan dan mengisi seluruh waktunya, siang dan malam dengan hal tersebut. Berbeda halnya dengan orang-orang yang lemah semangat dan lebih senang dengan santai dan pasrah kepada gejolak hawa nafsu, sehingga ia tidak memiliki semangat untuk belajar dan tidak untuk beramal.

  1. Ketahuilah, bahwasannya menyematkan pada diri orang lain sebagai kafir, mubtadi`, dan fasik merupakan hak Allah. Oleh karenanya, Anda jangan sekali-kali memvonis kafir, atau mubtadi`, atau fasik terhadap orang yang tidak layak divonis demikian, walaupun ia telah menuduh Anda dengan kafir, atau mubtadi`, atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlus-Sunnah tidak membenarkan membalas kezhaliman pelaku kesalahan dengan kezhaliman. Akan tetapi, cara membalas kezaliman dengan kezhaliman merupakan perangai ahlul-bid’ah.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Orang-orang Khawarij selalu mengafirkan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Juga Mu`tazilah, mereka mengafirkan setiap orang yang bertentangan dengannya. Demikian juga Rafidhah (Syi’ah). (Adapun) yang tidak dikafirkan, maka divonis fasik. Sedangkan Ahlus-Sunnah, senantiasa mengikuti kebenaran yang datang dari Rabb mereka, kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah e , dan tidak mengafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam kebenaran itu. Akan tetapi, mereka ialah orang-orang yang paling mengetahui tentang kebenaran, dan paling kasih sayang terhadap manusia”.[Minhajus-Sunnah, 5/158].

  1. Anda jangan sekali-kali memboikot saudara Anda yang telah memboikot Anda, bila pemboikotan terhadapnya tidak dibenarkan secara syariat. Akan tetapi, hendaklah Anda selalu memulai mengucapkan salam kepadanya dan berusaha menarik simpatinya. Berusahalah untuk menghapuskan syubhat yang menyebabkan dirinya memboikot Anda. Bila ia tetap berpaling dari Anda, maka Anda jangan berkeyakinan dalam hati Anda, bahwa Anda dibenarkan untuk memboikotnya. Dan Anda jangan menyibukkan diri dengan terus berusaha mendekatinya, karena Anda telah terbebas dari dosa memutus hubungan, dan dia akan bertanggung jawab atas tindakannya itu.
  2. Celaan orang lain terhadap Anda, bisa saja dengan cara menjelek-jelekkan pribadi Anda, dan bisa dengan cara menisbatkan -dusta- kepada Anda suatu perkataan yang bertentangan dengan keyakinan Ahlus-Sunnah. Mak,a apabila yang mereka lakukan ialah menjelek-jelekkan pribadi Anda, misalnya dengan mengatakan “ia orang sesat, bodoh, dan tidak paham,” maka Anda jangan sekali-kali membela diri. Karena, bila Anda membela diri, niscaya Anda akan terjerumus ke dalam tazkiatun-nafsi (memuji diri sendiri). Dan sikap seperti ini merupakan kebinasaan yang nyata.

Ada seseorang yang menjelek-jelekkan seorang imam dengan suatu ucapan. Maka imam itu hanya menjawab: “Alangkah jauhnya Anda”.

Dahulu ahlul-bid’ah senantiasa mensifati pribadi ulama Ahlus-Sunnah dengan berbagai kedustaan, akan tetapi mereka tidak pernah memedulikannya. Yang mereka lakukan hanya membantah kesalahan mereka dalam urusan agama dan menasihati masyarakat umum. Oleh karena itu, kita hendaknya menjadikan mereka sebagai suri tauladan dalam masalah ini.

Adapun bila ia menisbatkan suatu perkataan sesat, misalnya dengan mengatakan “si fulan berkata demikian, demikian,” dan ia menisbatkan kepada Anda suatu perkataan yang tidak pernah Anda ucapkan, maka Anda cukup membantah penisbatan tersebut, sehingga pada kemudian hari tidak ada yang menisbatkan perkataan tersebut kepada Anda. Dan para ulama senantiasa menjelaskan kepada masyarakat tentang perkataan-perkataan yang tidak pernah mereka ucapkan, yang dinisbatkan kepada mereka. Dan sikap ini, sama sekali bukan termasuk dalam kategori memuji diri sendiri, akan tetapi, bahkan merupakan nasihat kepada masyarakat.

Sehingga sangat jelas perbedaan antara contoh ini dengan contoh sebelumnya. Oleh karena itu, Anda hendaklah berpegang teguh dengan ajaran ulama Salaf dalam hal seperti ini. Dan Anda, jangan menyerupai sebagian orang bodoh, yang bila dituduh dengan suatu tuduhan, ia langsung menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia, berbagai pujian, dan sanjungan terhadap dirinya. Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. Dan yang terakhir,

  1. Ketahuilah, bahwa setiap manusia akan menjadi semakin besar (kedudukannya) dalam bidang amalannya masing-masing, sehingga jika Anda berpegang teguh dengan Sunnah, niscaya kedudukan Anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak lama lagi Anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. [as- Sajdah/32:24].

Dan sebaliknya, jika Anda mengamalkan bid’ah, niscaya kedudukan Anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak lama lagi Anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلَالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَٰنُ مَدًّا

Katakanlah: “Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Rabbnya yang Mahapemurah memperpanjang tempo baginya”. [Maryam/19:75].

Dan setelah Allah mensifati Fir’aun beserta kaumnya dengan kesombongan, Dia berfirman:

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ

Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka. [al- Qhashshash/28:41]

Oleh karena itu, silahkan memilih untuk diri Anda, suatu amalan yang esok Anda senang bila menjadi pemimpin di dalamnya.

Demikianlah, dan hanya Allah Ta’ala sajalah yang lebih mengtahui. Dan semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat, salam dan keberkahan atas hamba dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lisanul-‘Arab (14/255).
[2] Maksud beliau, yaitu wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bermakna: “Dan ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan dapat mencelakakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan akan menimpamu. Dan (sebaliknya), seandainya mereka bersatu untuk memberimu manfaat, niscaya mereka  tidak akan dapat melakukannya, kecuali sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu”. [HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim], pent.
[3] Ketiga orang tersebut ialah: (1) orang yang memiliki ilmu tentang Al-Qur`an (hafal Al-Qur`an), tetapi menginginkan dari ilmunya itu agar ia dikatakan sebagai ahli membaca (seorang ulama), (2) orang yang memiliki harta kekayaan dan bersedekah, agar dikatakan sebagai dermawan, (3) orang yang berjihad dan mati dalam peperangan, agar dikatakan sebagai pemberani. Sebagaimana hadits ini disebutkan dalam riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. pent.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/19358-sepuluh-nasihat-untuk-pemuda-ahlus-sunnah.html